Sabtu, 12 Januari 2013




Pengalaman AS Soal Hak Tenurial

Selasa, 12 Juli 2011 16:59 WIB | 1257 Views
Ade P Marboen

Ilustrasi Penggunaan Hak Tenurial Hutan (FOTO ANTARA/Zabur Karuru)

Masyarakat asli Indian di negara saya memerlukan komitmen yang jujur dan tulus....


Senggigi, NTB (ANTARA News) - Hak tenurial masyarakat Indian di Amerika Serikat telah ratusan tahun terabaikan dan berujung pada penurunan kualitas kehidupan dan lingkungan setempat serta membebani pemerintahan negara itu.

"Masalahnya, masyarakat mengingat secara baik pencideraan itu. Mendapat kepercayaan agar hak tenurial itu bisa dilakukan secara baik sungguh amat sulit sehingga jangan ciderai kepercayaan itu," kata Mantan Deputi Menteri Kehutanan Amerika Serikat, Sally Collins, kepada ANTARA di Senggigi, NTB, Selasa.

Collins hadir sebagai satu pembicara dalam Konferensi Internasional Tenurial, Pengelolaan, dan Pengusahaan Hutan. Konferensi ini dihadiri ratusan ahli di bidang kehutanan, LSM, pemerintahan manca negara, dan tokoh masyarakat adat.

Hak tenurial, menurut terminologi kehutanan, merupakan satu sistem kepemilikan dan akses menuju hutan dan kawasan hutan bagi masyarakat setempat. Bagi pemerintahan banyak negara pada masa lalu, hak tenurial ini tidak ingin diberikan secara utuh mengingat banyak kepentingan politik di dalamnya.

Baru sejak sekitar 20 tahun terakhir hak tenurial bagi masyarakat di kawasan hutan, di berbagai belahan dunia, dibicarakan dan diimplementasikan. Hasilnya terbukti sejalan dengan peningkatan kualitas lingkungan, perikehidupan masyarakat dan perolehan kemakmuran negara yang bersedian mengimplementasikannya.

Amerika Serikat dengan seluruh bagian sejarah negara itu, kata Collins, telah belajar banyak dalam hal ini. "Kami telah mengubah habis-habisan model pengelolaan kawasan hutan. Dasarnya adalah peningkatan kesejahteraan dan penghargaan kepada komunitas setempat di hutan itu," katanya.

Collins merupakan salah satu ahli yang berada dibalik upaya pemerintahan Amerika Serikat mengubah paradigma pengelolaan hutan mereka. Saat ini Collins tergabung dalam LSM internasional Right and Resources Initiative yang berkantor pusat di Amerika Serikat dan aktif menyuarakan kepentingan hak-hak tenurial bagi komunitas asli setempat.

Dahulu kala, katanya, kawasan hutan di Amerika Serikat banyak dieksploitasi secara eksklusif oleh pemilik modal. Hutan seolah menjadi kawasan komoditas yang boleh diperlakukan sebagai tambang uang dan konflik tidak jarang pula terjadi.

Akibatnya, degradasi lingkungan yang terjadi menggerogoti masyarakat dan pemerintahan, baik pemerintahan negara bagian atau pun federal.

Sampai akhirnya diinsyafi bahwa komitmen pengelolaan dan hak tenurial ini sangat tepat diwujudkan. Bagi suku-suku Indian di negara kami yang lekat dengan hutan-hutan itu, komitmen mereka menjaga hutan sangat jelas dan itulah yang mereka inginkan dari dulu.

Secara probadi Collins menghabiskan banyak sekali waktu dan upaya untuk mendapatkan kepercayaan itu. Sebagai aparatur negara, jelas ada kepentingan negara dibalik eksistensinya itu.

"Namun harus diingat, yang saya lakukan ini demi kepentingan banyak sekali manusia yang berhak atas itu. Saya dekati dan dengar mereka satu demi satu," katanya.

"Masyarakat asli Indian di negara saya memerlukan komitmen yang jujur dan tulus. Mereka terbukti pasti melakukan apa saja yang bisa dilakukan untuk menjamin agar hak-hak mereka tidak diciderai lagi," katanya.

Berdasarkan pengalaman di negaranya, kesejahteraan kemudian menggantikan konflik yang terlanjur terjadi selama ratusan tahun manakala hak tenurial itu sukses diberikan.

Angka statistik membuktikan, kontribusi masyarakat Indian yang terjamin hak tenurialnya mampu menyumbang sekitar 277 dolar Amerika Serikat perkapita per tahun. "Luasan kawasan hutan juga semakin bertambah," katanya.

Karena itulah, katanya, bagi generasi masa kini, menjamin hak-hak tenurial itu seperti berhadapan dengan sejarah ratusan tahun mereka. Hutan bagi mereka adalah segalanya, yang menyediakan apa saja yang mereka perlukan, sekaligus menjadi identitas mereka.

"Dalam sistem hukum di negara saya, kepala-kepala suku di komunitasnya masing-masing seperti kepala pemerintahan federal kami. Mereka memiliki kedudukan khusus yang dihormati dalam sistem formal kami walau dia dan anggota komunitasnya juga harus tunduk pada segala kewajiban sistem hukum formal," katanya.

(ANT)

Editor: Ade Marboen
COPYRIGHT © 2011

Dibalik Layar








Jumat, 22 Juli 2011

Pemukiman Lawin

Setelah komunitas Selesek – Rensury melakukan perlawanan atas daulat Sultan Kaharuddin III yang mengusir seluruh masyarakat dari pemukimannya dan untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak lagi maka H Damhudji bin Tundruk memerintahkan agar meninggalkan lokasi. Keputusan ini atas perjanjian dengan Kesultanan Sumbawa yang berjanji memperluas wilayah. Setelah melalui proses perpindahan yang dimulai pada tahun 1933 hingga tahun 1935 seluruh warga Selesek – Rensury dan sebagian warga Beru menuju ke Lang Penghadang yang kemudian setelah penduduk banyak dinamakan Lawin (lawan) sebagai lokasi pemukiman yang baru. Tetapi isi perjanjian mempunyai maksud tertentu, hal ini diketahui setelah Kolonial Belanda membawa berkarung-karung pasir yang diambil dari Selesek – Rensury.

Penduduk yang menempati lokasi baru masih dibawah kepimimpinan Adat H Damhudji bin Tunru, kemudian ia membuat kebijakan pembagian tanah/lahan yang dapat diusahakan sebagai persawahan dan mendirikan rumah. H Damhujdji bin Tunru memerintahakan membuka lokasi yang masih tetutup hutan, sementara H Damhudji membuka lokasi di Pliuk Plempat Bengkal, Pliuk Mleku, Kuhang Jeringo dan lainnya. Sementara warga yang lain mengikuti di lokasi sekitarnya. Untuk kebutuhan hidup sehari-hari warga masih melakukan aktivitas dilokasi lama, terutama mengambil hasil padi dan menjalid sebagai kebutuhan pangan di lokasi baru.

Rumah pertama yang berdiri berlokasi di Karang Tenga yang dimiliki oleh H Damhudji sekarang dekat muka Masjid Karang Lawin, rumah berikutnya di Karang Suri yang dimiliki oleh Kwantan, setelah itu warga mengikuti yang membentuk arah barat-timur. Bahan baku untuk mendirikan bangunan rumah diambil dari daerah sekitar pemukiman, terutama memanfaatkan kayu yang ditebang dalam membuka persawahan.

Lokasi Lawin pada tahun 1935 secara resmi diduduki oleh komunitas Selesek – Rensury dan unit komunitas disebut dengan “Karang”, meskipun demikian kepemimpinan H Damhudji masih terkoordinir. Setelah pemukiman berdiri yang jumlahnya sebanyak lebih kurang 140 rumah termasuk sebuah Masjid, maka untuk memperlancar roda pemerintahan membagi kawasan pemukiman berdasarkan karang (dusun), setiap karang dipisahkan oleh jalan uatama yang disebut Raren Rango (jalan). Pembagian karang berdasarkan wilayah asal (dari Selesek – Rensury), yaitu karang sury, karang beru, karang selesek, karang aho, karang pandeng. Pada setiap lokasi karang ada seorang peminpinnya berdasarkan asal-usul yang dibawa dari kampong lama yang disebut nek karang (juru putar). Setelah system pemerintahan adat berjalan normal maka pada tahun 1959, H Damhudji bin Tunru wafat dan dimakamkan di pemakaman Jepan, karang Selesek (Lawin).

H Damhudji bin Tunru memimpin dilokasi yang baru (Lawin) selama 24 tahun, selama itu H Damhudji sudah meninggalkan hasilnya dalam menata usaha pertanian, menata pemukiman dan system pemerintahan. Setelah wafat dilanjutkan oleh Tuan Raja Hasbullah bin H Damhudji memimpin karang Lawin dari tahun 1959 – 1996. Program utama yang dikembangkan oleh Tuan Raja Hasbullah adalah membuka akses jalan untuk memudahkan komunitasnya berhubungan dengan wilayah luar dan kemudian setiap tahun dilakukan cacah jiwa. Selain itu, kepada setiap keluarga untuk membuat lumbung padi sebagai ketahanan pangan jika terjadi paceklik. Dalam segi pendidikan, Tuan Raja Hasbullah juga mendirikan sekolah pada tahun 1964 yang dinamakan sekolah partikulir, alat tulis yang digunakan kalam batu (batu tulis), lokasi sekolah di tihu lompa, karang Lawin.

Pada tahun 1968, dibangun sekolah yang lebih besar di Karang Lawin atas inisiatif warga, kemudian setelah sekolah berdiri Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat meningkatkat status sekolah tersebut menjadi Sekolah Dasar Negeri Lawin. Untuk menjual hasil bumi, warga karang Lawin menggunakan kuda sebagai sarana angkutan yang dipasarkan ke pasar Sumbawa.

Hingga pada tahun 1974 sistem pemerintahan diganti, yaitu karang Lawin menjadi dusun Lawin yang menginduk ke desa Labangkar, pada waktu itu yang mejadi kepala dusun adalah Unru setelah beberapa tahun dijalanjutkan oleh Dayo Injang, kemudian digantikan oleh A. Rasyid Thalib dan Rudsi Kafli. Hingga pada tahun 2004, dusun Lawin ditingkatkan statusnya menjadi desa persiapan yang dikepalai oleh Suhardin Manja. Pada tahun 2007 menjadi desa definitip dengan luas wilayah 33, 31 km berdasarkan SK Bupati No. 12 tahun 2006.

Sejak diberlakukannya seitem pemerintahan dusun/desa dari tahun 1974 tejadi dualisme kepemimpinan, meskipun demikian masing-masing pemerintahan berjalan secara hormonis. Untuk urusan keluar dan administrasi dijalanjak oleh pemerintahan dusun/desa, tetapi untuk urusan kedalam yang mengatur tata usaha dan tata kelola diperankan oleh adat.

Meskipun komunitas Selesek – Rensury sudah menetap di Lawin, tapi masih tetap melalukan aktivitas mengolah produksi gula merah (gula aren/bejalit) di Selesek – Rensury. Namun pada tahun 1986, kepala desa Lebangkar (M Saleh Agus Salim) dan kepala dusun Lawin (Rusdi) terjadi perselisihan fahan dengan komunitas. Pemerintahan desa/dusun melarang warga Lawin dan Lebangkar melakukan aktivitas bejalit di Seesek – Rensury dan Dodo, dengan alasan bahwa dilokasi tersebut akan dilakukan survey oleh Belanda (orang putih). Tapi sebagian warga Lawin dan warga Lebangkar tetap melakukan bejalit, pada saat itu berpapasan dengan Tim Survei. Ternyata tim survey tersebut utusan dari Perusahaan Pertambangan, sehingga menimbulkan konflik dengan warga yang melakukan usaha bejalit.

Sejak itulah komunitas adat yang dipimpin oleh Tuan Raja Hasbullah mengalami perselisihan dengan pemerintahan desa. Secara structural desa harus menjalankan tugas yang diberikan oleh Pemerintah daerah, secara individual kepala desa/dusun tidak ada perselisihan dalam kehidupan sehari-hari, disisi lain komunitas adat berpegang teguh pada aturan yang sudah di wariskan oleh leluhurnya. Kapala desa/dusun harus berpijak pada dua kaki, sehingga terjadi perselisihan. Munculnya perselisihan semakin memuncak, usaha rumah tangga warga Lawin dan warga Lebangkar semakin tidak mencukupi karena dilarang bejalit.

Pada tahun 1993 masyarakat mulai berontak dan melamjutkan lagi aktivitas bajalit, namun kegiatan tersebut tercium oleh Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Maka aktivitas bajalit di Selesek – Rensury dan Dodo melanggar hukum, karena wilayah tersebut sudah menjadi Konsesi Pertambangan. Tapi komunitas Lawin dan Lebangkar melakukan perlawanan atas perubahan status Wilayah Adat menjadi Konsesi Pertambangan sehingga konflik semakin tanjam. Karena Komunitas Lawin dan Lebangkar terus melakukan perlawanan maka banyak pihak yang melibatkan diri, baik secara perorangan, lembaga atau institusi, perusahaan maupun dari kesultanan.

Pergolakan dan konflik yang semakin tajam baik antar anggota masyarakat maupun dengan pihak-pihak yang ingin menguasai Selesek – Rensury dan Dodo, Tuan Raja Hasbullah di panggil yang Maha Kuasa pada tahun 1996. Selama 38 tahun Tuan Raja Hasbullah memimpin komunitas sejak di Selesek – Rensury hingga di Lawin. Kemudian berdasarkan garis keturunannya maka kepemimpinan diteruskan oleh putranya yang bernama Dato’Sukanda RHD sampai saat ini (2010).

Harapan masyarakat karang Lawin sejak terusir dari Selesek – Rensury dapat menjalankan kehidupan sehari-hari dengan tenang dan damai, ternyata persoalan yang harus dihadapi semakin besar. Hal ini tidak hanya datangnya dari pihak-pihak luar yang ingin menguasai sumber daya alam, tapi juga dari dalam. Baru berjalan 2 tahun kepemimpinan Dato Sukandar yang diwariskan memimpin komunitas Adat, maka pada tahun 1998 berusaha mempertahankan kedaulatan komunitas adat atas sumber daya alam dan wilayahnya. Berbagai lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat hinga forum-forum lainnya, dijajaki oleh Dato Sukanda dalam mencari dukungan pembelaan. Diantaranya dari Lembaga Olah Hidup (LO), WALHI NTB, GERAK, GEMPUR, FORTAS, FSD, PERUSDA dan KNPI, namun semuanya ini tidak membuahkan hasil seperti harapan komunitas. Maka pada tahun 2001 mencoba mencari dukungan ke AMAN, namun tidak secara spontan ditanggapi. Maka pada tahun 2003-2004 mulai dilakukan investigasi dan verifikasi keberadaan komunitas Cek Bocek. Pada saat rakernas AMAN di Sinar Rasmi – Banten Kidul akhir tahun 2009 Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Rensury diresmikan menjadi anggota.

Melalui PD AMAN Sumbawa secara intensif mendampingi komunitas dalam menyelesaikan persoalan untuk mempertahankan eksistensi komunitas adat dan kedaulatannya. Maka untuk membuktikan bahwa Cek Bocek memiliki ikatan yang kuat baik secara social dan budaya serta sejarah dan kewilayahannya diperlukan penelitian partisipatif. Tahap awal pembuktian aksistensi komunitas Adat Cek Bocek maka dilakukan pemetaan partisipatif, diantaranya penataan batas wilayah dan inventarisasi peninggalan sejarah serta nama-nama loca

Wilayah Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury

Wilayah Komunitas Adat Cek Bocek Reen Sury
Survei dan pemetaan batas-batas wilayah Komunitas Adat Cek Bocek dilakukan selama 8 (delapan) hari yang terbagi atas 3 kelompok dari komunitas Cek Bocek dan satu kelompok dari komunitas Dodo. Secara teknis pengambilan data batas wilayah Adat Cek Bocek Selesek Rensury seperti dibawah ini :
1. Kelompok barat dimulai dari titik Ponto Lutuk Mesinga menuju arah selatan sampai di Nanga (muara) Senare. Route yang dilalui memtotong lembah dan punggungan bukit, diantaranya ponto lang antung, ponto kemulan hingga ke bolon (pegunungan) selampang. Dilanjutkan dengan menuruni songe (sungai) Sengane hingga di nanga (muara) Sangane laut selatan atau Samudera Hindia.
2. Kelompok timur dan utara, titik awal dimulai dari lereng selatan ponto liang kuning (1.133 m dpl) kemudian menuju ke ponto jelutuk (922 m dpl) dan berbelok ke arah selatan sampai di pertemuan sungai/remung songe (muara sungai) yang membentuk aliran sungai utama songe sengane. Dari remung songe ke barat sedikit menyusuri punggungan bukit menuju pontok malat terus ke selatan hingga di ponto sampar todak. Dari lokasi ini terus keselatan hingga di tepi pantai, tepatnya di nanga baru (muara). Kelompok ini kembali ke titik awal untuk melanjutkan pengambilan titik di bagian utara. Dari ponto liang kuning ke arah timur melewati ponto selinung (912 m dpl), jalit kamdek hingga di lutuk meringa sebagai titik awal kelompok barat.
3. Kelompok selatan mulai dari nanga songe sengane menuju ke arah barat menyusuri pantai hingga ke nanga songe senare. Sepanjang penyusuran pantai tercatat sebanyak 38 buah nanga (muara) dan 8 buah lubang goa. Nanga-nanga yang sudah ada namanya tercatat sebanyak 34 buah, baik yang besar maupun yang kecil, diantaranya :
• Nanga songe besar, yaitu nanga songe sengane, nanga songe sompe dan nanga songe senare,
• Nanga songe kecil dari timur ke barat, yaitu nanga songe linur, nanga songe baru, nanga liang gluni, nanga liang pangi, nanga liang song, nanga uha, nanga ampen, nanga labus, nanga baru faran, nanga liang bage, nanga selagan, nanga tepangar, nanga songe teruntum, nanga songe tango, nanga songe sekulit, nanga songe song, nanga songe tempur, nanga songe liku, nanga songe pea, nanga songe sedo, nanga songe temawa, nanga liang uja, nanga kobar, nanga lepang, nanga lasar, nanga gola mate, nanga songe tepesa, nanga songe sepi, nanga songe semaru, nanga songe panan dan nanga songe tapang,
• Nama-nama liang yang tercatat, yaitu liang gluni, liang pangi, liang song, liang bage dan liang uja.
Servei dan pemetaan tata batas wilayah Adat Cek Bocek menggunakan peralatan GPS dengan panduan peta Rupa Bumi dari Badan Survei dan Koordinasi Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) sekala 1 : 25.000. pada setiap jalur yang dilalui ditandai dengan cat berwarna merah. Setelah masing-masing kelompok selesai melakikan pengambilan titik-titik GPS, langsung menuju brang Panas dan brang Sepakat (songe Dodo) dilokasi pemukiman lama, termasuk kelompok kominitas dari Lebangkar. Dilokasi inilah seluruh kelompok membaur untuk mengambil titik-titik perkuburan dan menginventarisasi peninggalan-peninggalan yang masih dapat di identifikasi.
Proses pemetaan tata batas wilayah dari survei hingga pengolahan data, dilakukan mulai dari tanggal 30 Maret – 9 April 2010. Hasil survei tata batas wilayah Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury (CBSR), luasnya lebih kurang 29.000 ha.
Batas-batas wilayah Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury, meliputi :
• Bagian utara berbatasan dengan desa Lebin, kecamatan Ropang
• Bagian barat berbatasan dengan desa Tatebal, kecamatan Lunyuk
• Bagian selatan berbatasan dengan pantai selatan, Samudera Hindia
• Bagian timur berbatasan dengan desa Lebangkar, kecamatan Ropang.
Pemerintahan Adat Cek Bocek Selesek Reen Sury sudah terstruktur dengan baik mengingat komunitas sangat menyadari budaya dan peninggalan sejarah yang sangat tinggi sehingga norma-norma hukum didalam kehidupan komunitas masih berjalan dengan baik secara turun temurun.